Miris!! Demi Kesembuhan Penyakit Suami Sang Istri Rela Ditiduri Dvkun Berkali-kali Hingga Hamil - Loh kok gini ?

Miris!! Demi Kesembuhan Penyakit Suami Sang Istri Rela Ditiduri Dvkun Berkali-kali Hingga Hamil

   Sedih dan terluka pastinya bila semua pengorbanan yang kita lakukan malah dibalas dengan pengkhianatan. Seperti tulisan sahabat Vemale yang diikutsertakan dalam Lomba Kisah Pahlawan dalam Hidupmu ini.


Dulu, aku adalah seorang ibu yang penyayang dan istri yang sangat taat kepada suaminya. Aku menikmati hari-hariku berperan sebagai seorang ibu dan seorang istri dengan penuh cinta. Segala yang kulakukan kucurahkan kasih sayang di dalamnya.

Saat mencuci baju, kubersihkan hingga tidak setitikpun noda menempel di pakaian suami dan anakku. Saat menyetrika, kurapikan agar tidak ada kain yang kusut sedikitpun. Saat memasak, kuperhatikan nilai gizi dan rasa agar keluargaku suka dengan masakanku. Terkadang aku mencoba menu-menu baru yang kudapat dari youtube agar keluargaku tidak bosan dengan masakanku yang itu-itu saja. Semua itu kulakukan dengan cinta dan kasih sayang yang tulus. Sebab yang kurasakan saat itu adalah memiliki mereka dalam hidupku bukan hanya sebuah anugerah, tetapi juga sebagai amanah yang Tuhan berikan kepadaku agar aku rawat dan aku jaga mereka untuk menyusuri bahtera ini sesuai tujuan awal pernikahan, menuju surga-Nya. Tidak ada sedikitpun terbayang olehku bagaimana jika aku kehilangan mereka.

Sebenarnya, saat kami menikah, suamiku belum memiliki pekerjaan yang layak. Dia hanya memiliki bisnis kecil-kecilan yang kami urus bersama. Aku meminta modal kepada ayahku untuk membenahi usaha kami. Agar bisa kami kembangkan sehingga bisa mencukupi kebutuhan kami. Ayahku selalu percaya denganku, beliau berikan modal yang kubutuhkan. Awalnya kami membelanjakan modal itu demi kepentingan bisnis kami, tapi tiba-tiba aku melihat aset yang kami miliki untuk bisnis itu berkurang. Aku menanyakan kepada suami, lalu beliau jawab kalau aset-aset itu dia jual, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Karena saat itu pelanggan sedang sepi. Jadi kami tidak memiliki pemasukan. Jadilah suamiku menjual aset itu demi dapur bisa ngebul. Aku percaya saja, karena yang kutahu selama ini suamiku adalah orang yang jujur. Lagipula memang sejak awal seluruh keuangan dia yang memegang. Jadi dia yang lebih tahu tentang kondisi keuangan kami.

Ya, dalam hal keuangan, suamiku yang memegang kendali penuh. Aku bahkan tak pernah memegang uang sepeserpun. Jika aku butuh sesuatu, bahkan sekadar membeli beras sekalipun, aku harus meminta uang kepada suamiku. Kami tidak memiliki sumber penghasilan lain selain usaha yang kami rintis bersama itu.
Aku pernah punya inisiatif, aku bekerja sebagai penjaga toko di kios milik temanku. Ada sedikit rasa tidak enakan sebenarnya, karena ada kemungkinan aku tidak akan profesional memegang amanah itu. Karena pikiranku terbagi dengan keluarga, dan bisnis yang kugeluti bersama suamiku. Namun karena pertemanan, temanku tidak masalah, karena dia hanya butuh ada orang yang membantunya mengurus toko.

Aku merasa telah mengambil keputusan yang salah sebenarnya, karena anakku masih bayi. Jadi aku merasa sangat kerepotan mengerjakan semua tugas itu. Aku pernah membicarakannya dengan suamiku, namun dia memberikan jawaban yang sangat jauh dari ekspektasiku. Bukannya memberikan pengertian, dia malah menyesal jika aku harus berhenti bekerja.

“Terus kita mau makan apa kala kamu berhenti bekerja?” katanya. “Anak-anak beli susu dari mana? Kan yang paling besar itu kebutuhan untuk beli susu. Inget bisnis kita sedang kolaps. Bantu saya ya, sementara saya sedang membenahi bisnis kita, kamu cari uang dari cara lain ya sayang,” katanya lagi.
Ada benarnya sih, barangkali memang aku harus membantu suami. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada yang janggal. Kenapa bukan dia saja yang mencari kerja di luar? Kenapa tidak dia saja yang menggunakan ijazah kuliahnya untuk melamar pekerjaan? Kurasa banyak perusahaan yang bersedia menerimanya dengan ijazah itu.

Aku ingat sekali saat aku menghadiri Job Expo, temanku menaruh berkas di sebuah booth milik perusahaan telekomunikasi. Dia ditanya IPK oleh mbak-mbak yang menjaga booth itu, apakah IPKnya di atas 3,3? Sayangnya IPK temanku 3,25. Dia langsung ditolak begitu saja oleh perusahaan itu. Lalu datanglah seseorang yang melamar ke perusahaan itu juga. Mungkin karena dia melihat temanku yang ditolak karena IPKnya kurang dari 3,3 jadi dia bertanya terlebih dahulu kepada petugas karena IPK dia tidak memenuhi syarat.

“Mbak, IPK saya 2,75. Apa bisa melamar di sini?” katanya sambil menyodorkan berkas.
Mbak-mbak penjaga booth membuka dan melihat amplop cokelat yang berisi berkas lamaran itu, baru sedikit dibuka aku langsung bisa mengenali ijazah itu, karena suamiku pun memilikinya. Itu adalah ijazah dari kampus ternama.

Tanpa mengobrak-abrik berkas itu, si Mbaknya langsung berkata, “Nggak apa-apa, masukin aja dulu,” katanya.
Aku dan temanku hanya bisa melongo melihat kejadian itu. “Coba suami kamu mau kita ajak kesini ya,” kata temanku.

Iya, aku pun berpikir demikian. Coba dia mau melamar pekerjaan. Biar bisnis kami aku saja yang mengurus. Tapi dia tidak pernah mau bekerja. Maunya diam di rumah ongkang-ongkang kaki tapi duit tetap mengalir. Astaghfirullah, maaf karena telah berkata begitu tentang seseorang yang seharusnya kuhormati.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel